بسم الله الرØÙ…Ù† الرØÙŠÙ…
اللهم صل عل سيدنا Ù…ØÙ…د Ùˆ على اله سيدنا Ù…ØÙ…د
LAPTOP DARI LANGIT
Tahun 2017
menjadi saksi bisu perjuangan ku, di STAI Bumi Silampari. Bukan berasal dari
gemerlap kemewahan, aku hanyalah setitik debu di antara hiruk pikuk kehidupan,
seorang anak buruh serabutan yang penghasilannya tak pernah pasti. Di tengah
badai tugas akhir semester yang menghadang ”laporan PPL, KKN, proposal skripsi, dan
skripsi yang menanti untuk ditaklukkan” hati ku diliputi kecemasan yang tak
terperi.
"Bagaimana
mungkin?" bisik ku lirih dalam hati, meratapi kenyataan yang
begitu pahit. Jangankan membayangkan sebuah laptop yang akan menjadi senjata
utama dalam pertempuran akademik ini, untuk sekadar membayar biaya registrasi
pun aku tak punya. Bahkan, suara printer yang mencetak lembar demi lembar tugas
terasa bagai simfoni kemewahan yang jauh dari jangkauanku.
Di tengah
kebuntuan pikiran yang menyesakkan, secercah cahaya menembus kegelapan. Tiba-tiba
terngiang di telinga ku akan lantunan ceramah seorang ustadz, sebuah janji
sederhana namun penuh kekuatan: "Jika kamu memberi Allah satu, maka
Allah akan membalas sepuluh." Dengan hati yang berdebar, aku meraih
satu-satunya harta karun yang ku miliki, beberapa lembar uang sejumlah
Rp150.000. Tak lebih, tak kurang. Ku bulatkan niat, akan ku persembahkan yang
terbaik yang aku punya.
Sebelum kaki
melangkah keluar rumah, ku hadapkan wajahku pasa Sang Khalik dalam khusyuknya
shalat dhuha. Dalam munajat yang lirih dan penuh harap, ku gumamkan segala
persoalanku pada Nya dan menyampaikan kerinduanku.
Ku berbisik
lembut pada_Nya: "Ya Allah, aku membutuhkan laptop untuk
menyelesaikan semua tugasku. Namun, aku tak punya uang untuk membelinya. Yang
kumiliki hanyalah Rp150.000 ini. Ya Allah, uang ini tentu takkan cukup untuk
membeli laptop yang kubutuhkan. Ya Allah, aku 'membeli' laptop itu dengan
diri-Mu saja seharga Rp150.000, karena hanya ini yang aku punya."
Usai shalat,
dengan hati yang lebih tenang, ku beranjak menemui sepasang suami istri renta
yang masih harus berjuang keras demi sesuap nasi. Ku berikan uang yang ku punya
pada mereka, sebuah sedekah yang dipenuhi keyakinan bahwa Allah takkan pernah
ingkar janji. Aku percaya, balasan sepuluh kali lipat akan datang, mungkin
sebesar Rp1.500.000. Air mata haru mengalir di wajah keriput kedua lansia itu,
doa-doa tulus terucap bagai mata air yang tak pernah kering.
Minggu-minggu
berlalu, namun hati ku semakin gelisah. Proposal skripsi sudah menanti sentuhan
tanganku. Sementara itu, balasan dari sedeka, yang aku harapkan menjadi modal
untuk membeli laptop, belum juga tampak. Akupun terpaksa meminjam laptop dari
anak seorang teman abah. Namun, waktu pinjam yang terbatas berbanding terbalik
dengan tumpukan tugas yang seolah tak berujung. Seminggu terasa seperti sekejap
mata yang takkan cukup untuk menuntaskan semuanya.
Keresahan kian
mencengkeram dan meremas hati. "Ya Allah," gumamku dalam hati,
"katanya jika aku memberi satu, Engkau akan membalas sepuluh kali
lipat. Tapi mengapa hingga kini belum juga Engkau balas? Jangankan membeli
laptop, untuk mencetak dan membayar biaya seminar saja terasa begitu
sulit." Perlahan, keyakinanku mulai goyah, semangatkupun meredup.
Pikiran buruk
mulai menggelayutti jiwa, "Mungkin janji itu tak berlaku untukku. Tugas
ini takkan mungkin selesai." Su'udzon, prasangka buruk kepada Sang
Pencipta, mulai meracuni hati, meninggalkan rasa sedih dan kecewa yang
mendalam.
Hingga
akhirnya, kepasrahan menjadi satu-satunya pilihan. Dalam benakku saat itu,
percuma aku terus meratapi keadaan. Toh, semuanya takkan berubah.
Namun, di
tengah keputusasaan dan penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, keajaiban
datang menyapa. Allah, dengan segala kemurahan dan cara-Nya yang tak terduga,
mengirimkan pertolongan. Tiba-tiba, seorang teman kuliah yang akrab disapa Ibu
P datang berkunjung ke rumah. Tanpa diduga, Ibu P menawarkan pinjaman laptop
tanpa batas waktu, tanpa biaya sepeser pun. Tak hanya itu, Ibu P juga memberi ku
uang sebesar Rp700.000 dengan satu syarat sederhana: membantunya mengerjakan
tugas kuliah.
Air mata ku
seketika tumpah.
Penyesalan
mendalam menghantam hati. "Ya Allah, maafkan aku," bisikku
lirih, "aku telah berburuk sangka pada-Mu. Ternyata Engkau memang
tak pernah mengingkari janji. Inilah balasan dari sedekah kecilku, Rp150.000.
Aku mendapatkan laptop yang kubutuhkan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, dan
biaya registrasiku pun telah Engkau lunasi melalui perantara Ibu P."
"Ya
Allah, aku bersyukur atas karunia-Mu," hatiku
berbisik penuh haru. Dengan laptop "kiriman" Allah, aku mampu
menyelesaikan semua tugasku jauh lebih cepat dari perkiraan. Bahkan, skripsi
pun rampung lebih awal dari teman-teman yang lain. Bukan hanya uang registrasi
dan laptop, segala kebutuhannya pun Allah cukupkan tanpa aku harus mengeluarkan
banyak uang.
Kisah ini adalah lentera bagi kita semua. Bahwa Allah takkan pernah mengecewakan hamba-Nya yang berharap kepada-Nya. Meskipun pertolongan-Nya terkadang terasa lambat, yakinlah, ia tak pernah datang terlambat. Allah Yang Maha Kaya memiliki cara-Nya sendiri yang ajaib untuk membantu setiap hamba-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Apa yang tiada, bisa menjadi ada dengan izin-Nya, begitu pula sebaliknya. Jangan pernah biarkan sehelai benang keyakinanmu putus di tengah badai kehidupan. Teruslah berharap, teruslah memberi, dan percayalah pada janji-Nya yang pasti.
Semoga blog ini bermanfaat!